Community Rating

blank
blank
blank
blank
blank
blank

Budi Pekerti

  • 13+
  • 2023

Menceritakan mengenai kisah seorang guru yang mendadak viral di media sosial, berita mengenai guru tersebut mendadak membuat image guru dia di sekolah menjadi buruk.

This content is restricted!

Bantu kami mengulas konten yang pernah Mama tonton. Login di sini.

Customer Reviews

Based on 1 review
100%
(1)
0%
(0)
0%
(0)
0%
(0)
0%
(0)
I
Ibu Swift
Pesan Positif:
Ada pesan positif
Bagus
Kekerasan:
Ada adegan kekerasan/mengerikan
Bagus
Adegan merokok, alkohol, dan narkoba:
Ada adegan merokok, alkohol, dan narkoba
Tidak ada adegan merokok, alkohol, dan narkoba
Dialog/bahasa kasar:
Ada dialog/bahasa kasar
Tidak ada dialog/bahasa kasar
Adegan Seksual:
Ada adegan seksual
Tidak ada adegan seksual
Merepresentasikan keberagaman:
Ada keberagaman dalam film
Tidak ada keberagaman dalam film
Bagus banget!! tapi bagusnya ditonton remaja sih

Ceritanya real, relate bgt sama jaman sekarang. Bagus banget buat pembelajaran apalagi buat remaja. Cuma jangan sekali-kali ditonton sama anak di bawah 13 tahun sih takutnya ada trauma sendiri karena ada ngomongin isu mental health.

Sinopsis Terlengkap Film Budi Pekerti (2023)

Judul: Budi Pekerti (judul internasional: Andragogy)
Sutradara dan Penulis: Wregas Bhanuteja
Pemeran Utama: Sha Ine Febriyanti (Bu Prani), Dwi Sasono (Pak Didit), Prilly Latuconsina (Tita), Angga Yunanda (Muklas)
Durasi: 1 jam 50 menit
Rating Usia: 13+
Tanggal Rilis: 2 November 2023 (Indonesia), tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) pada 9 September 2023
Latar: Yogyakarta, masa pandemi COVID-19
Sinopsis:
Film Budi Pekerti adalah sebuah drama keluarga yang menggugah, mengangkat isu cyberbullying dan dampak media sosial terhadap kehidupan seseorang, dengan latar belakang budaya Yogyakarta yang kental. Cerita berpusat pada Bu Prani (Sha Ine Febriyanti), seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di SMP Pengemban Utama, Yogyakarta, yang dikenal tegas, disiplin, dan berdedikasi dalam mendidik murid-muridnya. Ia adalah kandidat calon wakil kepala sekolah, sebuah posisi yang mencerminkan reputasinya sebagai pendidik yang disegani. Bu Prani tinggal bersama suaminya, Pak Didit (Dwi Sasono), yang menderita gangguan bipolar akibat kegagalan bisnisnya selama pandemi COVID-19, serta dua anak mereka: Tita (Prilly Latuconsina), seorang musisi independen dan aktivis sosial yang kritis, dan Muklas (Angga Yunanda), seorang content creator yang sedang naik daun dengan endorse brand di media sosial.
Kisah bermula ketika Bu Prani terlibat dalam perselisihan kecil di pasar tradisional saat mengantre membeli kue putu. Tanpa sepengetahuannya, momen ini terekam dalam video berdurasi 20 detik oleh seseorang dan diunggah ke media sosial. Video tersebut dengan cepat menjadi viral, namun narasinya dipelintir sehingga Bu Prani tampak bersikap kasar dan tidak pantas sebagai seorang guru. Netizen dengan cepat menghujatnya, mempertanyakan moralitasnya sebagai pendidik, dan mencari-cari kesalahan lain dalam kehidupannya. Komentar negatif dan perundungan daring (cyberbullying) membanjiri Bu Prani, mengancam kariernya karena pihak sekolah mempertimbangkan untuk mengeluarkannya dari pekerjaan. Dampaknya tidak hanya terasa pada Bu Prani, tetapi juga pada keluarganya. Pak Didit, yang sudah berjuang dengan depresi, semakin terpuruk. Tita, yang aktif memperjuangkan keadilan sosial, merasa frustrasi dengan ketidakadilan yang menimpa ibunya. Sementara Muklas, yang hidupnya bergantung pada popularitas di media sosial, menghadapi dilema antara menjaga citranya sebagai influencer dan membela ibunya.
Konflik semakin kompleks ketika keluarga Bu Prani berusaha membersihkan nama baiknya. Tita dan Muklas bekerja sama untuk mencari solusi tanpa sepengetahuan ayah mereka, yang kondisi mentalnya rapuh. Upaya mereka untuk mengklarifikasi kebenaran justru memperkeruh situasi, karena opini publik di media sosial sulit dikendalikan. Film ini menggambarkan bagaimana sebuah video pendek tanpa konteks dapat menghancurkan reputasi seseorang dan memengaruhi kehidupan keluarganya. Dengan dialog yang menggabungkan bahasa Jawa dan Indonesia, Budi Pekerti menampilkan realitas kehidupan sehari-hari di Yogyakarta, termasuk nuansa budaya lokal yang kental, seperti pasar tradisional, sekolah, dan keindahan alam seperti Tebing Breksi.
Sutradara Wregas Bhanuteja, yang terinspirasi dari pengalaman pribadinya dan fenomena nyata cyberbullying di Indonesia, menggunakan film ini untuk mengajak penonton merefleksikan dampak media sosial, terutama fenomena cancel culture dan penilaian sepihak. Ia juga menghormati para guru melalui karakter Bu Prani, yang terinspirasi dari ibunya sendiri, seorang pendidik. Film ini menyoroti bagaimana media sosial bisa menjadi alat yang kuat untuk kebaikan maupun kehancuran, serta pentingnya kebijaksanaan dalam bermedia sosial. Dengan akting emosional dari para pemeran, terutama Sha Ine Febriyanti yang memenangkan Piala Citra untuk Aktris Terbaik, dan Prilly Latuconsina sebagai Aktris Pendukung Terbaik, Budi Pekerti berhasil menyampaikan pesan moral yang mendalam tentang empati, keadilan, dan kompleksitas hubungan keluarga di tengah tekanan sosial.
Fakta Menarik:
  1. Inspirasi Nyata: Cerita film ini diambil dari kasus-kasus viral di media sosial selama pandemi, di mana individu dihujat karena video pendek tanpa konteks. Wregas terinspirasi dari pengalaman ibunya sebagai guru dan kenangan masa kecilnya di Yogyakarta.
  2. Lokasi Syuting: Film ini difilmkan di 40 lokasi di Yogyakarta, termasuk SMP Stella Duce, tempat Wregas pernah bersekolah, dan tempat-tempat ikonik seperti pasar tradisional dan Tebing Breksi.
  3. Bahasa dan Budaya: Dialog menggunakan campuran bahasa Jawa (termasuk kromo inggil) dan Indonesia, mencerminkan kehidupan sehari-hari di Yogyakarta. Para aktor, seperti Sha Ine Febriyanti, menjalani pelatihan intensif selama tiga bulan untuk menguasai dialek dan gestur Jawa.
  4. Penghargaan: Budi Pekerti meraih 17 nominasi di Festival Film Indonesia (FFI) 2023, termasuk Film Cerita Panjang Terbaik, dan memenangkan dua Piala Citra untuk Aktris Terbaik (Sha Ine Febriyanti) dan Aktris Pendukung Terbaik (Prilly Latuconsina).
  5. Pendekatan Sinematik: Wregas memfokuskan pada pengembangan karakter dan akting ketimbang eksplorasi teknis, berbeda dari film sebelumnya, Penyalin Cahaya. Adegan emosional, seperti Bu Prani mendengarkan rekaman suara anak-anaknya untuk memicu air mata, menunjukkan kedalaman akting.
  6. Relevansi Sosial: Film ini menjadi cerminan fenomena sosial modern, seperti cancel culture dan dampak jejak digital, yang relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini.
Kesimpulan:
Budi Pekerti adalah sebuah karya sinematik yang kuat, menggabungkan narasi emosional dengan kritik sosial yang tajam. Melalui kisah Bu Prani dan keluarganya, film ini mengajak penonton untuk berpikir ulang sebelum menghakimi seseorang berdasarkan potongan informasi di media sosial. Dengan latar budaya Yogyakarta yang autentik dan penampilan akting yang memukau, Budi Pekerti tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi cermin untuk merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan dalam era digital.

Community Rating

blank
blank
blank
blank
blank