Sinopsis Terlengkap Film Ave Maryam (2018)
Ave Maryam adalah film drama romansa Indonesia yang disutradarai, diproduksi, dan ditulis oleh Ertanto Robby Soediskam. Dirilis pada tahun 2018 dan tayang di bioskop Indonesia pada 11 April 2019, film ini mengangkat tema cinta terlarang yang sensitif antara seorang biarawati dan seorang pastor Katolik, dengan latar belakang kota Semarang pada tahun 1998. Dibintangi oleh Maudy Koesnaedi sebagai Suster Maryam, Chicco Jerikho sebagai Romo Yosef, serta didukung oleh Tutie Kirana (Suster Monic), Olga Lydia (Suster Mila), Joko Anwar (Romo Martin), dan Nathania Angela, film ini menawarkan narasi yang mendalam tentang pergulatan batin, pengabdian, dan keinginan manusia untuk menemukan kebahagiaan. Dengan sinematografi memukau oleh Ical Tanjung dan pendekatan naratif yang minim dialog namun kaya makna, Ave Maryam berhasil mencuri perhatian di berbagai festival film internasional, termasuk Hanoi International Film Festival 2018, Hong Kong Asian Film Festival 2018, dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018, sebelum tersedia di Netflix pada September 2020.
Latar Cerita dan Pengenalan Karakter
Film ini berlatar di Semarang, Jawa Tengah, pada tahun 1998, sebuah periode yang sarat dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia. Cerita berpusat pada Maryam, seorang wanita berusia 40 tahun yang lahir dari keluarga Muslim namun memilih menjadi biarawati Katolik. Maryam, yang diperankan dengan penuh kedalphysics oleh Maudy Koesnaedi, bekerja sebagai suster di sebuah panti jompo di Girisonta, Ambarawa, Semarang. Tugas utamanya adalah merawat tujuh biarawati lansia di sebuah asrama kesusteran, sebuah panggilan suci yang menuntut kesetiaan penuh kepada Tuhan dan kaul selibat. Kehidupan Maryam dipenuhi rutinitas pengabdian: memandikan para suster sepuh, menyiapkan makanan, membersihkan asrama, dan memenuhi kebutuhan mereka, sering kali hingga larut malam. Meski berasal dari keluarga Muslim, Maryam menjalani perannya dengan penuh dedikasi, mencerminkan komitmennya pada iman dan pengabdian.
Maryam diperkenalkan sebagai penghuni baru di asrama oleh Romo Martin (Joko Anwar), seorang pastor yang mengenalkannya kepada Suster Monic (Tutie Kirana), seorang biarawati senior yang tegas, dan Suster Mila (Olga Lydia), penanggung jawab asrama. Kehadiran Maryam disambut hangat, namun kehidupannya yang teratur mulai terguncang dengan kedatangan Romo Yosef (Chicco Jerikho), seorang pastor muda yang tampan, karismatik, dan berbakat dalam musik, khususnya sebagai ahli orkestra. Berbeda dari stereotip pastor yang kaku, Yosef memiliki sisi humanis dan kepekaan emosional yang membuatnya menonjol.
Konflik Utama: Cinta Terlarang
Pertemuan Maryam dengan Romo Yosef menjadi titik awal pergolakan batinnya. Yosef, dengan pesona dan kelembutannya, membawa warna baru dalam kehidupan Maryam yang monoton. Secara bertahap, perasaan cinta mulai tumbuh di hati Maryam, sebuah perasaan yang bertentangan dengan kaul selibat yang telah ia junjung. Yosef sendiri, meski terikat pada janji yang sama sebagai pastor, juga terpikat oleh Maryam. Hubungan mereka berkembang secara diam-diam, ditunjukkan melalui gestur halus, tatapan penuh makna, dan momen-momen kecil yang sarat emosi, seperti saat mereka berbagi “percakapan” tak langsung di sebuah restoran melalui dialog film yang diputar di latar belakang.
Namun, hubungan terlarang ini tidak luput dari perhatian. Suster Monic, yang memiliki hubungan dekat dengan Yosef sejak kecil, memperingatkan keduanya untuk menghentikan perasaan tersebut. Monic menasihati Yosef agar menjauh dari Maryam, sementara Maryam sendiri mulai goyah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Ia sering pulang terlambat, mengabaikan tanggung jawabnya, dan meragukan komitmennya sebagai biarawati. Puncak konflik terjadi dalam sebuah adegan di pantai, di mana Maryam dan Yosef menyerah pada perasaan mereka. Adegan ini, yang ditampilkan secara tersirat melalui simbolisme seperti pintu mobil yang dibiarkan terbuka, menjadi momen klimaks yang menggambarkan penyerahan diri Maryam pada cinta, sekaligus pelanggaran terhadap janji sucinya.
Pergulatan Batin dan Pilihan Hidup
Ave Maryam tidak hanya bercerita tentang romansa, tetapi juga tentang dilema moral dan eksistensial. Maryam dihadapkan pada pilihan yang sulit: tetap setia pada kaul pengabdiannya kepada Tuhan atau mengejar kebahagiaan pribadi yang diwakili oleh cinta kepada Yosef. Film ini menggali pergulatan batin Maryam melalui narasi yang lambat dan penuh simbolisme, seperti perubahan palet warna pakaian Maryam yang semakin gelap seiring intensitas konflik batinnya. Suster Monic, sebagai representasi otoritas dan kebijaksanaan, memberikan perspektif yang mendalam melalui dialognya yang ikonik: “Jika surga saja belum pasti untukku, buat apa nerakamu menjadi urusanku?” Kalimat ini mencerminkan kebebasan Maryam untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa penghakiman yang menggurui.
Yosef juga mengalami konflik serupa. Dalam sebuah adegan pengakuan dosa, Maryam tanpa sadar mengungkapkan perasaannya di bilik pengakuan, di mana Yosef, yang bertugas sebagai pengaku dosa, hanya bisa menangis diam-diam, mencerminkan patah hati dan kelemahannya sendiri sebagai manusia. Film ini dengan cerdas menghindari penyampaian pesan moral yang eksplisit, membiarkan penonton menafsirkan sendiri makna dari perjalanan emosional kedua tokoh.
Akhir yang Mengambang
Salah satu kekuatan Ave Maryam adalah akhir ceritanya yang terbuka. Di penghujung film, Maryam terlihat meninggalkan asrama dengan membawa koper, namun tidak dijelaskan apakah ia memilih untuk meninggalkan kehidupan biara, mengejar Yosef, atau mencari jalan baru. Ketidakjelasan ini sengaja diciptakan oleh sutradara untuk memberikan ruang bagi penonton untuk merumuskan akhir cerita sesuai persepsi masing-masing, sekaligus mencerminkan kompleksitas kehidupan manusia.
Unsur Teknis dan Estetika
Ave Maryam dipuji karena keindahan sinematografinya, yang berhasil menangkap pesona arsitektur kolonial Semarang, hutan, dan pegunungan dengan warna-warna hangat dan komposisi gambar yang simetris. Ical Tanjung, sinematografer pemenang Piala Citra, menghadirkan visual yang memanjakan mata, seperti pengambilan gambar bangunan-bangunan tua bergaya Eropa yang memperkuat nuansa nostalgia. Soundtrack film, yang mencakup lagu-lagu rohani seperti “O Holy Night” dan “Gloria in excelsis Deo,” serta lagu penutup “Sacred Heart” oleh Aimee Saras, menambah kedalaman emosional. Pendekatan minim dialog, dengan penekanan pada ekspresi wajah, gestur tubuh, dan simbolisme, membuat film ini terasa puitis sekaligus mendalam.
Konteks dan Kontroversi
Ave Maryam dianggap sebagai gebrakan baru dalam perfilman Indonesia karena mengangkat tema Katolik yang jarang disentuh, di tengah dominasi narasi Islam dalam sinema lokal. Film ini terinspirasi dari kisah nyata di Kesusteran Mitra Sepuh, Semarang, dan diproduksi secara sukarela tanpa bayaran untuk kru dan pemain, mencerminkan semangat untuk menghadirkan warna baru dalam industri film. Namun, film ini juga menuai kontroversi, terutama karena pemilihan Maudy Koesnaedi, seorang Muslim, untuk memerankan biarawati, yang memicu pertanyaan tentang sensitivitas agama. Selain itu, versi bioskop (73 menit) dipotong 12 menit dari versi festival (85 menit) untuk memenuhi standar sensor 17+, sementara versi utuh (21+) hanya ditayangkan di festival tertentu.
Penghargaan dan Penerimaan
Film ini meraih beberapa penghargaan, termasuk Pengarah Sinematografi Terbaik (Ical Tanjung) di Festival Film Indonesia 2019 dan Aktris Pilihan Tempo (Maudy Koesnaedi, Tutie Kirana, Olga Lydia) di Festival Film Tempo 2018. Ave Maryam juga memenangkan kategori Best Editing di ASEAN International Film Festival & Awards 2019. Meski hanya menarik sekitar 80.000 penonton di 30 bioskop Indonesia dengan pendapatan sekitar Rp3,2 miliar, film ini mendapat pujian kritis atas keberaniannya mengangkat tema sensitif, kepekaan estetika, dan pendekatan naratif yang tidak menghakimi.
Makna dan Interpretasi
Secara tematik, Ave Maryam bukan sekadar kisah cinta terlarang, tetapi juga refleksi tentang kemanusiaan, kebebasan memilih, dan konflik antara kewajiban dan hasrat. Film ini menggunakan pendekatan semiotika, seperti simbolisme pintu mobil terbuka atau buku dengan sampul sensual yang dibaca Maryam, untuk menyampaikan makna secara implisit. Judul Ave Maryam sendiri, yang menggabungkan “Ave Maria” (doa Katolik) dan “Maryam” (nama dengan konotasi Islam), mencerminkan perpaduan budaya dan agama yang unik. Film ini mengajak penonton untuk merenungkan pertanyaan universal: bagaimana manusia menyeimbangkan antara pengabdian, keyakinan, dan keinginan pribadi?
Kesimpulan
Ave Maryam adalah sebuah karya sinematik yang berani, puitis, dan mendalam, yang mengeksplorasi kompleksitas emosi manusia di tengah ikatan agama dan moral. Dengan akting ekspresif dari Maudy Koesnaedi dan Chicco Jerikho, sinematografi yang memukau, dan narasi yang terbuka untuk interpretasi, film ini menawarkan pengalaman menonton yang menggugah hati dan pikiran. Bagi penonton yang mencari cerita tentang cinta, pengorbanan, dan pencarian jati diri, Ave Maryam adalah sebuah permata sinema Indonesia yang layak disaksikan.