Community Rating

blank
blank
blank
blank
blank
blank

The Battle of Algiers

“The Battle of Algiers” (1966), disutradarai oleh Gillo Pontecorvo, adalah sebuah film drama perang yang menggambarkan dengan gaya dokumenter yang kuat salah satu babak paling krusial dalam Perang Kemerdekaan Aljazair (1954-1962) melawan pemerintah kolonial Prancis. Berlatar di ibu kota Aljir antara tahun 1956 dan 1957, film ini menyoroti perjuangan gerilya yang dilancarkan oleh Front Pembebasan Nasional (FLN) melawan pasukan terjun payung Prancis.

Film ini tidak berpusat pada satu protagonis tunggal, melainkan pada perjuangan kolektif rakyat Aljazair. Namun, salah satu tokoh sentral yang diikuti adalah Ali La Pointe (diperankan oleh Brahim Haggiag), seorang penjahat kecil yang direkrut ke dalam sel revolusioner FLN. Melalui matanya, penonton menyaksikan bagaimana FLN mengorganisir diri di dalam Kasbah, distrik Muslim yang padat dan labirin, untuk melancarkan serangan terhadap simbol-simbol kekuasaan Prancis.

Konflik memanas ketika FLN memulai serangkaian serangan teroris di wilayah Eropa di Aljir. Wanita-wanita Aljazair yang tidak bercadar menyamar sebagai orang Eropa untuk menanam bom di kafe, bar, dan lokasi publik lainnya yang ramai dikunjungi warga Prancis. Serangan-serangan ini memicu pembalasan brutal dari otoritas Prancis.

Sebagai respons, pemerintah Prancis mengirim unit pasukan terjun payung elit yang dipimpin oleh Kolonel Mathieu (diperankan oleh Jean Martin), seorang perwira yang cerdas, karismatik, namun tanpa ampun. Kolonel Mathieu menerapkan strategi kontra-pemberontakan yang sistematis dan kejam. Taktiknya berpusat pada penyiksaan sistematis terhadap para tahanan untuk membongkar struktur sel FLN yang terorganisir rapat. Film ini secara gamblang menggambarkan metode-metode penyiksaan yang digunakan, termasuk waterboarding dan sengatan listrik, tanpa memihak secara emosional tetapi menampilkannya sebagai fakta perang yang mengerikan.

Puncak dari pertempuran ini adalah keberhasilan Prancis dalam melumpuhkan kepemimpinan FLN di Aljir pada tahun 1957, yang berpuncak pada pengepungan dan kematian Ali La Pointe. Meskipun secara taktis Prancis memenangkan “Pertempuran Aljir”, film ini ditutup dengan sebuah epilog yang menunjukkan bahwa perjuangan rakyat Aljazair tidak padam. Demonstrasi massal yang meluas pada tahun 1960 hingga akhirnya kemerdekaan Aljazair dideklarasikan pada tahun 1962 membuktikan bahwa kemenangan militer Prancis hanyalah sementara dan semangat revolusi tidak dapat dipadamkan oleh kekerasan.

Dengan sinematografi hitam-putih yang menyerupai berita arsip, “The Battle of Algiers” dipuji karena realismenya yang luar biasa dan kemampuannya untuk menyajikan perspektif kedua belah pihak dalam konflik yang brutal, tanpa menyederhanakan isu-isu moral yang kompleks.

 

Kecocokan dengan Tontonan Anak: Sangat Tidak Sesuai

 

Berdasarkan sinopsis dan analisis kontennya, “The Battle of Algiers” sama sekali tidak cocok untuk ditonton oleh anak-anak. Alasan utamanya adalah sebagai berikut:

  1. Kekerasan Grafis dan Realistis: Film ini menampilkan kekerasan perang dengan sangat gamblang dan tanpa sensor. Adegan-adegan pengeboman di ruang publik, penembakan dari jarak dekat, dan dampak berdarah dari kekerasan tersebut dapat sangat mengganggu dan traumatis bagi penonton muda. Salah satu adegan yang paling dikenal adalah saat anak-anak menembak tentara dari jarak dekat.
  2. Penggambaran Penyiksaan: “The Battle of Algiers” secara eksplisit dan klinis menggambarkan metode penyiksaan yang digunakan oleh pasukan Prancis untuk mendapatkan informasi. Adegan-adegan ini, meskipun krusial untuk narasi film, sangat tidak pantas untuk audiens anak-anak karena tingkat kebrutalan psikologis dan fisiknya.
  3. Tema Dewasa dan Kompleksitas Moral: Film ini bergulat dengan tema-tema yang sangat dewasa, seperti terorisme, perang gerilya, kolonialisme, dan kejahatan perang. Ambiguitas moral yang disajikan—di mana kedua belah pihak melakukan tindakan kejam untuk mencapai tujuan mereka—membutuhkan kedewasaan emosional dan pemahaman konteks historis yang belum dimiliki oleh anak-anak.
  4. Gaya Dokumenter yang Intens: Gaya pembuatan film yang menyerupai dokumenter membuatnya terasa sangat nyata. Bagi anak-anak, hal ini dapat mengaburkan batas antara fiksi dan kenyataan, membuat adegan-adegan kekerasan terasa lebih langsung dan menakutkan.

Secara umum, film ini memiliki rating usia dewasa (di banyak negara diklasifikasikan untuk penonton berusia 18 tahun ke atas) karena kontennya yang matang dan mengganggu. Film ini adalah sebuah karya sinematik yang penting untuk studi sejarah, politik, dan film, tetapi harus diperuntukkan bagi penonton dewasa yang dapat memproses materi yang disajikan secara kritis.

This content is restricted!

Bantu kami mengulas konten yang pernah Mama tonton. Login di sini.

Community Rating

blank
blank
blank
blank
blank